Sepucuk
pohon cemara, berdiri kokoh di sudut kanan rumahku. Menghiasi indahnya malam
yang sendu. Berselimut dinginnya angin yang membeku. Kuayunkan kaki. Sembari
melihat seutas demi seutas air yang turun membasahi daun tanah, yang telah
mengering. Oleh pancaran sinar matahari
yang menyengat kala siang datang. Duduk termenung seorang diri. Di depan teras
rumah. Seraya bergurau mesra dengan lembabnya hati. “ibu dan ayahku telah
datang. Tapi ia tak hadir disisiku, hanya harumnya yang menyelimuti setiap
helaan nafasku
Ingatanku
kembali menerawang jauh. Memoriku kembali berputar ke masa lalu. Sudah dua
tahun lebih mereka berpisah, tapi tak ada satu orang pun yang mau mengalah,
demi aku. Buah cintanya. Ataukah? Mungkin aku dilahirkan tanpa rasa cinta di
antara mereka. Aku memang seorang anak yang jahat. Selalu menipu, membohongi
mereka dengan segala tingkah remajaku.
Aku
ingin sekedar mereka tahu, aku ini kering tanpa mereka dalam hari-hariku. Aku
butuh kalian embun, yang selalu menyejukkanku.
Dalam
masa sulitku ataupun senangku. Yang aku ingat dan aku kenang hanya mereka
berdua. Sekeras apapun mereka, tetap mereka terutama dalam benakku. Takkan ada
yang bisa membuatku bahagia, selain mereka. Walau, hanya senyum sekecil apapun
yang tersungging di bibir itu. Mereka melebihi tulang rusukku. Mereka adalah sepasang
kakiku, tempat aku berpijak. Menuntun langkahku. Jangan buat aku sengsara
dengan semua keanehan ini.
Masihku
simpan rapat dalam memori. Saat mereka tertawa, saat mereka saling melempar senyum
dan tawa, duka maupun lara. Mana dulu janji mereka, yang selalu ingin membuatku
bahagia.
Di
kala senja akan meninggalkan siang di ufuk barat. Dan malam bersiap untuk
menggantikannya dengan seribu tempelan bintang di sekelilingnya. Kita shalat
berjamaah. Ayah di depan sebagai imam, serta Ibu dan aku di belakang sebagai
makmun. Kita mengucapkan lafaz-lafaz Allah yang kuasa atas segalanya. Dengan
hening dan khidmat. Bedoa. Meminta yang terbaik dari yang terbaik atas
pemberiannya. Kemudian bersiap-siap untuk melingkari meja makan, hanya untuk
sekedar santap malam. Masih terangkai jelas dalam ingatan, saat ayah marah
ketika ibu bercerita pada saat makan.
“Sudah,
nggak usah berbicara kalau lagi makan. Nggak baik. Nanti ada-ada saja yang
terjadi! Tegas ayah
Aku
hanya menunduk seraya melanjutkan makan. Sedangkan ibu menjawab kecil atas
ucapan ayah. “iya, maaf”
Sekarang
semua seakan membuncah ke luar dari memoriku. Semua tidak bisa kutampung lagi.
Semua seakan menjadi kabut hitam. Tak jelas arah tujuan. Semua juga telah
membuntukan imajiku.
***
Semilir
angin membawaku menuju perguruan tinggi yang ada di kota provinsi. Di sini aku
merasa agak sedikit tenang. Berfikir, walau gelisah selalu mengucur deras,
beriringan dengan aliran darahku. Kemudian menghentak jantungku hingga menembus
ulu hatiku. Sungguh, ini lebih parah dari perkosaan, pembunuhan ataupun segala
macam kriminal yang sedang panas dibicarakan saat ini.
Aku
hanya ingin mereka kembali, tanpa ada perselisihan, pertengkaran ataupun
perdebatan. Kukira, menyatukan dua orang yang dulu saling melengkapi. Dan
pernah diikat tali penikahan, janji sehidup semati itu mudah. Ternyata itu
lebih sulit dari menyatukan bumi dan langit.
Acapkali
kutatap wajah tirus yang semakin hari semakin berkeriput itu, wajahnya semakin
kering, jauh dari tetesan embun. Semua seakan padam, kelam legam. Tak ada
celah-celah cahaya yang mampu menggores wajahnya lagi. Saat itu, memang aku
merasa sangat bersalah. Hingga, tak sanggup untukku tidak meneteskan embun
bening dari bendungan kelopak mata sipitku. Melihat Ibu yang selalu berkabut.
Mungkin isi otaknya ingin muntah, karena rentetan masalah selalu menghantamnya.
Detik demi detik dia datang perlahan dan semakin hari semakin kencang. Belum
lagi omongan orang di sekeliling rumah. Saudara dan lainnya. Itu yang selalu
ditanggung Ibu, semenjak Ayah selalu datang kerumah. Menjengukku sekaligus
melihat Ibu. Mungkin! Aku juga tidak tahu persis.
***
Tak
hanya Ibu yang semakin memperlihatkan wajah tirusnya, begitupun dengan Ayah.
Semakin ringkih dengan tubuh jangkungnya. Rambut yang dulu hitam lebat. Kini
memutih. Kulitnya semakin dilipat oleh debu dan angin yang menusuk tulang.
“assalamualaikum,
ucap Ayah dari daun pintu.
“waalaikumsalam,
jawabku dan Ibu saling bersamaan.
Langkah
gontainya seakan kian cepat melaju. Seiring detak jarum jam yang berbunyi.
Tepat di atas kepalaku. Menyusup ruang tamu, lalu menghampiri ruang keluarga yang
diapit dapur dan ruang tamu. Kemudian Ayah duduk bersila tepat di bawah jendela,
memancarkan cahaya pagi yang hangat. Pagi itu orang baru saja
berbondong-bondong pergi ke rumah Tuhan, untuk melaksanakan shalat Idul Fitri.
Yang hanya sekali setahun dilakukan itu. Hari untuk dimana saling memaafkan.
Kata orang-orang! Tapi menurutku setiap hari bisa saling bermaafan. Mungkin
saat itu tepatnya saling bersilaturahmi dengan keluarga besar.
Persaaanku
campur aduk ketika suasana yang dulu beku kini mulai mencair. Apakah ini
langkah yang baik, untuk menyatukan dua hati yang terpecah? Gumamku, sambil
memancarkan pesona senyum kilatku pada mereka.
“hmm,
Ayah, Ibu. Ungkapku mulai mencairkan suasana. Lalu aku bersimpuh di depan
mereka. inilah saat yang tepat, untuk membuat mereka merasa betapa pentingnya
mereka bagiku. kupegang erat jemari mereka. Tak lupaku mengecupnya. Bait demi
bait terus mengucur deras dari bibirku.
“maafkan
aku ketika ucapanku pernah menyayat hati Ibu dan Ayah, mengukir luka yang
mendalam bagi kalian. Jika aku salah tolong tegur aku” kalian adalah cahaya
dunia bagiku. Tanpa kalian aku tak tahu akan bagaimana. Yang aku ingin saat ini
adalah melihat kalian kembali bersama lagi seperti dulu. Seperti dulu yang
kalian perlihatkan padaku. Aku tak mau mendapatkan kasih sayang terpisah dari
kalian. Aku hanya butuh itu saat ini. Atau, apakah kalian tega melihatku hidup
lemah dengan segala air mata. Di tengah kerasnya kehidupan di kota. Dari
centang perenang perangai anak manusia.
Aku
sudah cukup dewasa untuk ini Ibu, ayah. Memang aku tak akan bisa merubah apapun
atas kalian, jika kalian tidak mau merubahnya. Ingatlah, aku masih butuh
kalian, sama seperti mereka teman-temanku. Aku tahu jalan hidup manusia telah
ditentukan oleh penciptanya. Sesuai dengan apa yang dia butuhkan.
“tapi
apakah ini yang aku butuhkan Ibu, ayah? Sehingga aku merasakan pahitnya hidup
tanpa kebahagian dari kalian. Justru yang aku telan saat ini lebih pahit dari
rasanya empedu.
Bait
demi bait itu seakan tak mau berhenti mengucur deras dari bibirku bersamaan
dengan lajunya titik-titik peluh yang membasahi wajah sembabku.
Aku
terhenti sejenak untuk memecahkan kebekuan di antara mereka. Ayah dan Ibu tak
mampu mengeluarkan satu huruf pun dari mulutnya. Hanya tetesan bening yang
membasahi wajah tirus mereka, tanpa suara. kini semua mematung. Suasana hening
tanpa terdengar sayup-sayup ataupun gema-gema takbir yang dikumandangkan.
Seakan telinga ini telah tuli, bibir ini telah membisu. Hembusan napasku seakan
menggoyahkan pikiran mereka. Kini Ibu angkat bicara.
“iya
sayang, debu ini sebentar lagi akan di sapu oleh air hujan yang turun dari
langit yang indah, dan ia akan membawakan sebaris pelangi untuk kita” mata Ibu
seakan meyakinkan batinku untuk mengatakan ‘iya’.
“tapi
kita tidak pernah tahu kapan hujan itu akan datang meyapu debu-debu dalam rumah
kita” waktulah yang akan menjawabnya sayang. Lanjut ayah sambil menyeka tetesan
bening itu dari wajah tirusnya.
Kini
hanya mata yang berkaca-kaca yang terlihat dalam rumah. Air itu seakan membayang
dalam benakku. Seandainya aku bisa membuat hujan turun, saat ini juga akan aku
turunkan. Agar duka ini tak berlarut-larut menjadi bayangan dalam rumahku. Tapi
aku bukan Tuhan yang bisa dengan segala kehendaknya.
Perkataan
Ayah yang menutup pembicaraan kami ketika itu. Seolah, aku menangkap makna
dibalik itu semua. Ada suatu hal, yang mereka tak ingin aku ketahui. Jika bisa,
aku ingin melipat waktu hingga aku menemukan titik tengah dari situasi yang
mencekam dada ini. Tapi aku bukan apa-apa dari segala yang dikehendaki-Nya.
***
Aku
sadar atas semua kasih sayang yang mereka berikan sekarang. Memang lebih, dari
yang dulu pernah mereka hadirkan. Tapi bukan ini yang aku butuhkan. Biar, biar
kasih sayang yang secuil apapun itu, asal mereka bersatu kembali merajut cinta
seperti yang dulu. Bukan kasih yang teramat besar, tapi terpisah. Tidak!.
Mungkin
tangisanku ketika itu, tak mampu memecahkan kebekuan hati Ayah dan Ibu. Kini
aku mulai jeli untuk mencari akar-akar yang mulai membusuk itu. Sungguh! Aku
tak pernah tahu apa yang terjadi di antara mereka. mungkin karena kebodohanku
atau mungkin kejeniusanku dalam mengambil sikap. Memperdulikan mereka. sehingga
sekecil apapun masalah yang bergelayut di antara mereka. sedikitpun aku tak
pernah tahu. Mungkin ini juga salah satu kebodohan yang pernah aku lakukan. Aku
hanya asyik dengan duniaku sendiri, dengan egoku dan segala tabiat burukku.
Beberapa
bulan setelah Idul fitri. Dengan suasana masih seperti dulu. Tidak berubah sama
sekali. Ibu asik dengan pekerjaannya mencari nafkah untuk membiayai
pendidikanku. Sedangkan Ayah, asik pula dengan pekerjaan di kampungnya. Untuk
memenuhi kebutuhannya, juga kebutuhanku.
Semua
terasa janggal ditelingaku. Ketika Ibu menangis lewat handphone saat bicara
denganku. Tentang Ayah.
“sayang,
kini Ayahmu benar-benar berubah. Sepertinya Ibu sudah tak sanggup untuk berusaha
merajut kembali, tali yang dulu pernah putus di antara kami. Awalnya Ibu akan
berusaha menerimanya demi kamu. Ibu akan berusaha merogohkan keegoisan Ibu. Demi
kebahagian kamu dan kita sayang” ucap Ibu terbata-bata dengan suara serak
akibat tangisan yang tertahan. Dengan pelan kujawab perkataan Ibu.
“Ayah
berubah seperti apa Bu?” jelaskan pada Putri Bu.
Dengan
nada yang sama, Ibu mengucapkan kata-kata yang tak pernah ingin kudengar
sebelumnya.
“semalam
nenek datang dan membertihaukan, bahwa Ayahmu telah menikah lagi sayang.
Aku
tertegun sejenak. Selagi otakku mencerna kata-kata terakhir Ibu.
Kini
dadaku di ujung sesak. Sendu lirih
seakan memacu, sejauh mata memandang seakan kelabut hitam yang menjulang. Kini
cerita semuku seakan menjadi abu. Benar-benar abu. Rencana yang sudah aku
ancang, kini telah terbang bersama angin. Cahaya mentari seakan tak mampu
menembus wajah sembabku. Sengatan ini lebih sakit, dibandingkan sengatan
kalajengking. Yang dulu pernah menjilat kaki Ibuku. Pupus sudah harapanku,
untuk menyatukan Ibu dan Ayah. Sejauh ini aku hanya bisa berusaha dan melakukan
yang terbaik. Selebihnya Tuhanlah yang menentukan. Batinku.
Duka
yang aku dan Ibu rasakan tidak kalah sakit. Dikala merasakan duka korban yang
terbujur kaku, di depan Ibunya. Selepas ditembak aparat yang tak bertanggung
jawab. Berita di televisi, yang beberapa hari ini sering di bicarakan. Bahkan
juga lebih kejam, dari bayi yang ditahan. Akibat orang tuanya tak mampu
membayar biaya rumah sakit.
***
Aku
tenggelam, dalam kenangan yang dulu menghiasi hari-hariku. Bersama Ibu dan
Ayah. Beris demi baris, lembar demi lembar kembali terbuka jelas dalam anganku.
Disaat aku menangkap embun yang mulai padam, dari raut wajah ibu. Itu, aku
sebut dengan embun kesedihan. Kesedihan itu, seakan menerobos dan
mencabik-cabik jiwa dan batinku. Ingin aku mengenggamnya sebelum ia padam. Tapi
kini hanya layar laptop dan tuts-tuts kyboard yang selalu kutatap nanar, dan
hanya kepadanya, aku ceritakan semua sakit dan rasa lelah yang menggerogotiku..
Aku
selalu berharap ini hanya dongeng pilu, yang dibacakan ibu. Ketika mataku
hendak terpejam. Agar aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Dalam dongeng
itu. Mungkin ini hanya sekedar mimpi panjang dalam tidurku. Dan kelak aku
terjaga, aku akan melihat sebuah lukisan indah. Menggambarkan Aku, Ibu dan Ayah
tersenyum simpul. Bersama. Di surga. Dalam rumah kita yang abadi.
Selesai